Kondom ini dilengkapi gigi-gigi tajam, berfungsi sebagai kait. Hanya bisa dilepas dokter
Doktor di Afrika Selatan menemukan kondom khusus perempuan yang dilengkapi gigi-gigi tajam seperti kait. Kondom ini dan menyebarkannya di area Piala Dunia.
Sang penemu, dr Sonnet Ehler sampai harus menjual rumah dan mobilnya untuk mengembangkan kondom perempuan yang disebut Rape-aXe pada 2005. Dalam masa percobaan, kondom ini dilego US$ 2 atau sekitar Rp 19.000 per biji.
Kondom ini adalah senjata tersembunyi perempuan dari pemerkosaan. Pemakaiannya, sama seperti memakai tampon atau pembalut.
Ketika pemerkosa melakukan penetrasi, kondom itu akan menempel, dan gigi-gigi di dalamnya akan mengait alat kelaminnya.
Kondom itu tak mudah dilepaskan, hanya dokter yang bisa melakukannya. Dokter Ehler berharap, ketidakberdayaan pelaku pemerkosaan melepas kondom maut ini, akan memudahkan aparat hukum melakukan penangkapan.
"Rasanya sakit, pemerkosa tidak dapat buang air kecil dan tak bisa berjalan jika kondom itu menempel," kata dia, seperti dimuat laman News.com.au, Senin 21 Juni 2010.
"Jika dipaksa dilepas, kondom itu justru akan menempel makin erat. Namun, bagaimanapun, benda itu tidak akan merusak kulit, tak berbahaya, atau mengandung cairan berbahaya," tambah Ehler.
Penemu kondom ini mengklaim telah berkonsultasi dengan para insinyur, ahlli kandungan, dan psikolog untuk menciptakan desain kondom 'maut' namun tak berbahaya ini.
dr Ehlers berencana untuk mendistribusikan 30.000 kondom ini di bawah pengawasan selama penyelenggaraan Piala Dunia di Afrika Selatan.
Meski ditawarkan untuk mencegah pemerkosaan, kondom ini dikritik karena tak menawarkan solusi jangka panjang, namun justru membuat korban menjadi rentan mengalami kekerasan lebih berat dari pelaku.
Victoria Kajja, dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan di Uganda, mengatakan kondom justru meningkatkan kerentanan perempuan.
"Itu tidak hanya memberi korban rasa aman palsu, tetapi juga trauma psikologis," katanya.
"Ini juga tidak membantu mengurangi masalah psikologis korban pasca kekerasan seksual."
Laporan Lembaga Penelitian Kesehatan tahun lalu menyebutkan, 28 persen laki-laki yang disurvey mengaku pernah memperkosa perempuan atau remaja perempuan.
Di sebagian besar negara-negara Afrika, tes DNS tidak umum digunakan sebagai bukti untuk menyatakan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pemerkosaan.
Sang penemu, dr Sonnet Ehler sampai harus menjual rumah dan mobilnya untuk mengembangkan kondom perempuan yang disebut Rape-aXe pada 2005. Dalam masa percobaan, kondom ini dilego US$ 2 atau sekitar Rp 19.000 per biji.
Kondom ini adalah senjata tersembunyi perempuan dari pemerkosaan. Pemakaiannya, sama seperti memakai tampon atau pembalut.
Ketika pemerkosa melakukan penetrasi, kondom itu akan menempel, dan gigi-gigi di dalamnya akan mengait alat kelaminnya.
Kondom itu tak mudah dilepaskan, hanya dokter yang bisa melakukannya. Dokter Ehler berharap, ketidakberdayaan pelaku pemerkosaan melepas kondom maut ini, akan memudahkan aparat hukum melakukan penangkapan.
"Rasanya sakit, pemerkosa tidak dapat buang air kecil dan tak bisa berjalan jika kondom itu menempel," kata dia, seperti dimuat laman News.com.au, Senin 21 Juni 2010.
"Jika dipaksa dilepas, kondom itu justru akan menempel makin erat. Namun, bagaimanapun, benda itu tidak akan merusak kulit, tak berbahaya, atau mengandung cairan berbahaya," tambah Ehler.
Penemu kondom ini mengklaim telah berkonsultasi dengan para insinyur, ahlli kandungan, dan psikolog untuk menciptakan desain kondom 'maut' namun tak berbahaya ini.
dr Ehlers berencana untuk mendistribusikan 30.000 kondom ini di bawah pengawasan selama penyelenggaraan Piala Dunia di Afrika Selatan.
Meski ditawarkan untuk mencegah pemerkosaan, kondom ini dikritik karena tak menawarkan solusi jangka panjang, namun justru membuat korban menjadi rentan mengalami kekerasan lebih berat dari pelaku.
Victoria Kajja, dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan di Uganda, mengatakan kondom justru meningkatkan kerentanan perempuan.
"Itu tidak hanya memberi korban rasa aman palsu, tetapi juga trauma psikologis," katanya.
"Ini juga tidak membantu mengurangi masalah psikologis korban pasca kekerasan seksual."
Laporan Lembaga Penelitian Kesehatan tahun lalu menyebutkan, 28 persen laki-laki yang disurvey mengaku pernah memperkosa perempuan atau remaja perempuan.
Di sebagian besar negara-negara Afrika, tes DNS tidak umum digunakan sebagai bukti untuk menyatakan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pemerkosaan.
0 comments:
Post a Comment